Setiapmasyarakat di seluruh penjuru dunia memiliki fenomena kehidupannya tersendiri. Entah itu di Eropa atau bahkan di Amerika sekali pun, meski negara hollywood ini sudah terkenal dengan gaya
KunciJawaban Intan Pariwara Kelas 12 PPKN Edisi Lama
Hukumkausalitas (sebab-akibat) menyebutkan bahwa akibat yang ditimbulkan suatu peristiwa merupakan hasil dari adanya sebab yang ditimbulkan. Konflik tidak akan terjadi jika tidak ada pemicunya. Oleh karena itu, kita harus berpedoman pada sebab-akibat untuk mencapai suatu pemecahan masalah. (Sumber: Pengantar Sosiologi, 2001)
Fast Money. Penelitian ini bertujuan mengetahui kehidupan multikultural orang Semarang. Dengan pendekatan eksploratif, penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan fenomenologi. Objek penelitian adalah kehidupan multikultural masyarakat Semarang. Untuk mendapatkan gambaran tentang kehidupan multikultural masyarakat Semarang maka ditetapkan subjek penelitian adalah 1 Warga Semarang yang memiliki pengalaman hidup multikultural, 2 Peristiwa-peristiwa yang merupakan manifestasi kehidupan multikultural di Semarang, 3 Bangunan, kawasan di Semarang yang merupakan karya cipta manusia dimana didalamnya melekat makna-makna multikultural. Teknik penentuan subjek penelitian dilakukan secara dengan purposive sampling dan snowball sampling. Metode pengumpulan data dengan dokumentasi, observasi, wawancara, Focus Group Discussion, kuesioner. Metode analisis dengan analisis deskriptif dan analisis fenomenologi. Hasil penelitian dapat disimpulkan tentang unsur-unsur multikultral dan pola relasi multikultural masyarakat Semarang sebagai berikut 1. Budaya Jawa, Islam dan Cina memiliki pengaruh dominan dalam kehidupan multikultural kota Semarang. 2. Dinamika relasi multikultural diantara kelompok sosial yang ada ditentukan oleh status sosial setiap kelompok. Beragam kelompok-kelompok sosial yang ada di Semarang baik itu kelompok etnis, agama pada dasarnya memiliki status sosialnya masing-masing, baik yang tinggi maupun rendah. Relasi lebih mudah berlangsung diantara kelompok sosial yang memiliki status sosial yang setara. Relasi yang terjadi antara kelompok sosial dengan status sosial yang berbeda dapat berlangsung melalui mobilitas sosial. 3. Faktor yang menentukan kemampuan warga untuk hidup secara multikultural adalah pendidikan dalam keluarga, keluasan dalam pergaulan, keluasan wawasan dan intelektualitas, sikap mengedepankan nilai kemanusiaan dan universalitas dan pengalaman kontak langsung. 4. Kehidupan secara multikultural lebih mudah berlangsung pada aktivitas publik seperti hubungan bertetangga, kerja, keagamaan, pendidikan, kesenian, pasar, sekolah, tempat tinggal, kelenteng, acara kesenian dan kawasan publik lainnya. Hambatan untuk menjalankan kehidupan multikultural lebih sulit berlangsung pada aktivitas sosial dengan tingkat keintiman yang tinggi seperti pernikahan. 5. Diperlukan kemampuan kepemimpinan multikultural baik pada pimpinan daerah seperti Gubernur dan Walikota beserta perangkatnya maupun para pemimpin komunitas etnis, agama yang ada. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Psikologi Multikulturalisme, di Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus, 9 Mei 2011 Kehidupan Multikultural Orang Semarang Oleh Drs. Budi Susetyo, MSi Drs. Edy Widiyatmadi, MSi Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang Pendahuluan Indonesia adalah negara multikultur, multi etnis, dan multiagama. Bruner dan Koentjaraningrat dalam Warnaen, 2001 mencatat bahwa di Indonesia terdapat sekitar 300 suku bangsa dengan identitas kebudayaannya sendiri-sendiri. Indonesia juga memiliki keragaman agama yang dianut oleh masyarakat. Keragaman budaya, etnis, agama masyarakat ini dapat menjadi anugerah jika dikelola dengan baik, namun kegagalan dalam mengelolanya akan dapat menimbulkan musibah kemanusiaan. Keragaman masyarakat Indonesia ini menyebabkan dinamika kehidupan bersama yang bersifat majemuk. Implikasi positif dari kemajemukan dalam masyarakat sering digambarkan dengan konsep pluralisme dan multikulturalisme. Pluralisme menunjuk pada kerangka hubungan antarkelompok yang saling menghormati dan bekerjasama tanpa konflik Suaedy, 2007. Adapun multikulturalisme merupakan paham yang dikenalkan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat majemuk yang harmonis, karena paham ini menghargai perbedaan dalam kesederajatan Suparlan, 2002. Untuk konteks Indonesia, konsep multikulturalisme rasanya lebih mewakili gambaran tentang implikasi positif yang diharapkan dari realitas kemajemukan masyarakatnya. Multikulturalisme dan implementasinya dalam bentuk hidup secara multikultural merupakan ranah perilaku yang perlu dimiliki oleh setiap orang yang hidup di dalam masyarakat majemuk seperti di Indonesia ini. Menurut Widiyatmadi 2005 karena kita hidup di Indonesia yang multikultural ini maka kita perlu menghayati dan menyadari secara riil realitas pluralistik masyarakat kita untuk kemudian mengganjurnya dalam langkah-langkah bertindak dalam konteks pluralitas tersebut. Perjalanan Indonesia menerapkan multikulturalisme bukan merupakan persoalan mudah. Ancaman separatisme, perpecahan dan konflik antarkelompok merupakan penanda bahwa hidup secara multikultural belum sepenuhnya dijalankan dalam bingkai bangsa Indonesia yang plural. Pendidikan multikultural merupakan cara yang disarankan untuk ditempuh dalam mengembangkan multikulturalisme di Indonesia. Pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan Asy’arie, 2004. Susetyo 2004 mengatakan bahwa peran pemerintah / penguasa nampaknya memiliki posisi sentral dalam penerapan multikulturalisme. Pemerintah perlu secara konsisten menjalankan fungsi fasilitasi, layaknya konduktor dalam sebuah orkestra, sehingga kesetaraan, perasaan berharga, pengakuan dan kebebasan dapat dirasakan oleh semua kelompok. Pemerintahan yang otoriter, fasis merupakan ancaman serius bagi aplikasi multikultiralisme pada masyarakat majemuk. Indonesia juga perlu belajar dari bangsa-bangsa lain yang telah menerapkan paham multikulturalisme dalam mengelola kemajemukan bangsanya. Di Amerika Serikat dikenal prinsip blind color perspective yang menanamkan nilai moral baru yang anti diskriminasi warna kulit Judd dkk, 1995. Pemerintah Kanada menerapkan kebijakan multikulturalisme untuk menghapuskan sikap diskriminatif dan kecemburuan budaya. Di Australia pandangan awal sebagian besar bersifat asimilasionis, tetapi akhirnya mengarah ke pandangan integrasionis; dan di tahun 1978, kebijakan tentang multikulturalisme secara formal dicanangkan. Di Swis kebijakan multikultural secara eksplisit ditetapkan pada tahun 1975 dengan tujuan kesamaan, kebebasan memilih dan kemitraan. Penerapan multikulturalisme pada negara-negara tersebut memerlukan proses, pergelutan yang panjang dan kemauan yang kuat dari semua komponen bangsa. Di Indonesia, implementasi multikulturalisme kiranya masih dalam proses perjalanan yang panjang. Banyak hambatan yang masih meranjau, terutama resistensi yang laten. Multikulturalisme di berbagai wilayah Indonesia sosoknya masih kabur. Bila pun multikuluralitas sering dilansir di berbagai forum, sebagian besar masih sebatas wacana dan kurang terimplementasikan secara nyata-hayati, konsisten dan berkesinambungan. Diperlukan kepedulian yang serius dari berbagai pihak untuk mengupayakan cara-cara yang lebih operasional dalam mendukung langkah-langkah pengimplementasian multikulturalisme tersebut. Semarang merupakan suatu potret masyarakat multikultural, karena keanekaragaman etnis, agama, budaya relatif mampu dikelola secara multikultural yang dilambari spirit unity in diversity dalam kehidupan sehari-hari. Bagi siapapun, karakter masyarakat kota Semarang yang multukultural itu dapat dijadikan sarana bercermin untuk mengembangkan keterampilan hidup secara multikultural. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi unsur-unsur yang berperan baik sebagai penunjang maupun pengancam’ dalam praktek hidup multikultural masyarakat Semarang serta mengintegrasikan kedalam hubungan-hubungan antar unsur sebagai dasar untuk memahami pola kehidupan multikultural di Semarang. Adapun manfaat penelitian ini, diharapkan secara teoritis akan memperkaya khasanah pengetahuan khususnya tentang pola kehidupan multikultural khususnya pada masyarakat Semarang. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi pegangan dan dasar yang lebih kontekstual untuk memahami kehidupan multikultural di Semarang. Temuan penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk mengembangan model-model pendidikan multikultural dalam masyarakat khususnya di dunia pendidikan. Telaah Teori Psikologi Multikultural Kehidupan multikultural suatu masyarakat berakar dari tumbuhnya kesadaran multikultural yang menunjuk pada kondisi kesiapan mental untuk berperilaku dalam kehidupan bersama yang menempatkan bermaknanya perbedaan secara unik pada tiap orang Perbedaan adalah identitas terpenting dan paling otentik tiap manusia. Kesadaran ini ditopang oleh pengetahuan kognisi, perasaan afeksi serta disposisi perilaku yang berakar kuat pada keyakinan multikulturalisme; yakni suatu keyakinan yang mengakui dan menghargai perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kultural Parsudi, 2002. Masyarakat multikultural adalah masyarakat majemuk yang menghargai pluralisme dan memungkinkan keberagaman tetap lestari. Masyarakat multikultural menerima integrasi sebagai cara-cara untuk menghadapi keberagaman budaya. Multikulturalisme bermaksud menciptakan suatu konteks sosiopolitik yang memungkinkan individu dapat mengekspresikan identitasnya secara sehat dan secara timbal balik mengembangkan sikap-sikap antarkelompok yang positif. Sebaliknya masyarakat majemuk yang bukan multikultural adalah suatu masyarakat yang memungkinkan upaya pemerintah untuk menghomogenkan populasi melalui asimilasi, memecah-mecah mereka melalui separasi atau mensegmentasikan mereka melalui marjinalisasi dan segregasi Berry dkk, 1999 Kesadaran multikultural merupakan domain perilaku yang menentukan corak perilaku seseorang ketika hidup dalam masyarakat multikultural. Dalam teori Lapangan dari Kurt Lewin dalam Shaw dan Costanzo, 1982, Sarwono, 1999 dijelaskan tentang apa yang terjadi dalam jiwa seseorang sehingga terjadi persepsi dan perilaku yang bersifat menyeluruh. Menurut Kurt Lewin, perilaku behavior merupakan fungsi keadaan pribadi personality dan lingkungan enviroment, yang dirumuskan menjadi B = f P,E. Faktor-faktor dari luar pribadi maupun dari dalam pribadi terpetakan dalam lapangan kesadaran seseorang. Lapangan kesadaran ini digambarkan oleh Lewin sebagai lapangan yang terbagi-bagi dalam wilayah region. Tiap wilayah mewakili sesuatu dari dalam diri sendiri dan dari luar dirinya. Dalam konteks kehidupan multikultural, maka setiap individu yang hidup dalam masyarakat multikultural merekam tentang identitas dirinya yang berbeda dengan orang lain, dan menyadari berbagai perbedaan yang ada dalam lingkungan hidupnya. Kesadaran akan berbagai perbedaan kultural ini akan mengisi wilayah-wilayah dalam lapangan kesadaran seseorang, menentukan dinamika kesadaran multikultural seseorang berkaitan dengan konflik-konflik karena berbagai perbedaan, upaya-upaya yang dilakukan menjalin kerjasama, menumbuhkan sikap toleran karena perbedaan. Kehidupan multikultural suatu masyarakat terkait dengan hubungan interaksional antarkelompok dalam masyarakat heterogen. Dalam konteks relasi yang demikian maka kualitas kehidupan multukultural suatu masyarakat juga terkait pada bagaimana kemampuan masyarakat mengatasi berbagai stereotip dan prasangka yang berkembang, kemampuan menjalin kontak antar kelompok yang berkualitas dan kesetaraaan akan identitas sosial setiap kelompok yang hidup bersama. Fenomena stereotip dan prasangka selalu mewarnai setiap hubungan antarkelompok, dari taraf yang wajar sampai pada taraf yang memicu kualitas hubungan yang paling buruk. Dalam penelitian Susetyo 2002 tentang stereotip etnis Cina dan Jawa di Semarang serta Susetyo dan Hardiyarso 2003 tentang stereotip agama, maka stereotip muncul dalam bentuk penilaian positif dan negatif terhadap kelompok lain. Menurut Myers 1993 evaluasi negatif yang menandai prasangka dapat berasal dari asosiasi-asosiasi yang bersifat emosional, dari kebutuhan untuk membenarkan perilaku ataupun dari keyakinan negatif yang disebut dengan stereotip. Mengacu pada Susetyo 2002 hadirnya stereotip dalam relasi antar kelompok merupakan konsekuensi fenomena misperception, baik karena adanya kecenderungan manusia untuk melakukan kesalahan-kesalahan atribusi, terbatasnya kesempatan kontak, adanya pengalaman masa lalu yang membangun kesan stereotipik suatu kelompok terhadap kelompok lain. Stereotip merupakan unsur fundamental yang mampu menggambarkan intensitas prasangka dan kualitas relasi antaretnis. Salah satu permasalahan dalam relasi antar kelompok adalah adanya hambatan yang bersifat fisik untuk terjadinya kontak antar kelompok. Fenomena tersebut menurut pandangan teori hipotesis kontak dalam Leyens dkk, 1994 menciptakan suatu kegagalan mengenal kelompok lain akibat ketidaktahuan ataupun tidak adanya informasi yang akurat faulty ignorance, memicu berkembangnya stereotip dan prasangka dalam intensitas yang menguat. Adanya situasi kontak akan membuka kesempatan untuk mengklarifikasi kesalahan persepsi dan belajar kembali dengan informasi baru. Namun diperlukan kontak yang berkualitas, dimana mengacu pada pendapat Cook dalam Leyens dkk, 1994 diperlukan kontak yang menekankan kedudukan yang sederajat, tidak mengungkit-ungkit citra negatif masing-masing kelompok, terjadi interdepensi hubungan yang bermutu yaitu adanya kerjasama untuk mencapai tujuan bersama, situasi kontak yang mengarah pada pengenalan sebagai individu dan bukan pada pengenalan individu sebagai anggota suatu kelompok. Identitas individu dalam interaksi sosial merupakan hal yang fundamental dalam setiap interaksi sosial. Identitas individu yang ditampilkan setiap interaksi sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu kelompok sosial, dimana didalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya Taylor dan Moghaddam, 1994 Menurut Hogg dan Abram 1988 di dalam masyarakat sendiri secara hirarkis terstruktur kategori-kategori sosial yang merupakan penggolongan orang menurut negara, ras, klas sosial, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, agama dan lain sebagainya. Di dalam masing-masing kategori sosial tersebut melekat suatu kekuatan, status dan martabat yang pada akhirnya memunculkan suatu struktur sosial yang khas dalam masyarakat, yaitu suatu struktur yang menentukan kekuatan dan status hubungan antarindividu dan antarkelompok. Taylor & Moghaddam 1994 mengemukakan bahwa aplikasi multikulturalisme dalam masyarakat majemuk memfasilitasi terciptanya pengakuan dan kebebasan untuk menggunakan simbol-simbol etnisnya bahasa, budaya dan hal ini akan membuatnya lebih percaya diri dan merasa tidak terancam secure. Metode Penelitian Maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode penelitian deskriptif dan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Objek penelitian adalah kehidupan multikultural masyarakat Semarang. Untuk mendapatkan gambaran tentang kehidupan multikultural masyarakat Semarang maka ditetapkan Subjek penelitian adalah 1 Warga Semarang yang memiliki pengalaman hidup multikultural. 2 Peristiwa-peristiwa yang merupakan manifestasi kehidupan multikultural di Semarang. 3 Bangunan, kawasan di Semarang yang merupakan karya cipta manusia dimana didalamnya melekat makna-makna multikultural. Teknik penentuan subjek penelitian dilakukan secara dengan purposive sampling dan teknik pengambilan sampel bola salju snowball sampling. Metode analisis dengan analisis deskriptif dan analisis fenomenologi. Metode pengumpulan data dengan 1 Dokumentasi untuk mendokumentasikan data sekunder yang relevan, 2 Observasi dengan melakukan pengamatan langsung terhadap unsur-unsur multikultural di lapangan, 3 Wawancara terhadap warga Semarang yang memiliki pengalaman multikultural. 4 Focus Group Discussion 5 Kuesioner untuk mengungkap tentang prasangka, stereotip, jarak sosial. Hasil Penelitian 1. Sekilas Tentang Kota Semarang Semarang memiliki jumlah penduduk jiwa data tahun 2004. Komposisi keberagaman suku bangsa dapat diperinci sebagai berikut suku Jawa 93,24 %, Cina 4,33 %, Sunda, Priangan 0,71 %, Batak, Tapanuli 0,25 %, Madura 0,15 %, Minang 0,05 %, Betawi 0,07%, Arab 0,09 %, lainnya 1,1 % 2. Semarang Kota Multikultural Sebagai kota multikultural, Semarang dihuni warga dengan beragam suku bangsa, agama. Sejumlah kawasan yang kental dengan karakter multikultural seperti di distrik Pecinan, Pekojan, Kauman. Setidakknya terdapat tiga budaya utama yang berpengaruh kuat yaitu Jawa, Cina dan Islam. 3. Titik Perjumpaan Kehidupan Multikultural Pagoda Avestolika di Watugong Di Semarang dijumpai beberapa kawasan, aktivitas yang menjadi titik perjumpaan untuk memfasilitasi berlangsungnya kehidupan multikultural seperti yang berlangsung di kelenteng-kelenteng, Waroeng Semawis, Pasar Gang Baru, kawasan multietnik Pekojan. 4. Pengalaman Hidup Multikultural Penelitian ini mewancarai enam subjek yang memiliki pengalaman multikultural yang berkesan dan kuat, sehingga mereka mampu bercerita dan berbagi pengalaman dengan cara yang berkesan pula. 5. Kehidupan Multikultural di Sekolah Dengan dilakukan FGD terhadap 10 siswa SMA, 8 mahasiswa maka diperoleh gambaran tentang kehidupan multikultural di sekolah. 6. Kehidupan Multikultural Kos Ada 5 subjek mahasiswa yang diwawancarai terkait dengan pengalaman multikultural di kos. Ketika berinteraksi dengan berbagai etnis di kos subjek menjadi menyadari perbedaan, mengembangkan sikap toleransi dan menghargai satu sama lain, lebih bisa membaur dengan orang yang berbeda. 7. Pacaran Beda Etnis Dari pengalaman pacaran beda etnis subjek belajar untuk tidak mempermasalahkan status keturunannya yang berbeda. Namun hambatannya terkadang lebih karena penolakan ataupun ketikdaksetujuan dari keluarga. 8. Stereotip, Prasangka dan Jarak Sosial Penelitian tentang stereotip dan prasangka etnis dilakukan terhadap Subjek mahasiswa Jawa dan Subjek mahasiswa Cina untuk mendapatkan gambaran tentang kualitas relasi antaretnis Cina dan Jawa di Semarang. Jarak sosial adalah seberapa dekat atau intim subjek dapat melakukan aktivitas sosial bersama target, melibatkan subjek kalangan mahasiswa Jawa dan Cina di beberapa perguruan tinggi di Semarang. Perspektif Psikologi Kehidupan Multikultural Orang Semarang Pembahasan dapat bertitik pangkal pada orang Jawa dan Cina di Semarang yang memiliki pola relasi multikultural yang khas. Mengacu pada Subjek Y, di kalangan orang Jawa Semarang dapat dibedakan antara orang Semarang asli dan orang Jawa golongan pendatang. Yang membedakan membedakan mereka adalah orientasi budaya yang dianut. Orang Semarang asli lebih mengadopsi berbagai budaya secara campuran seperti budaya pesisir, Islam, Arab, Cina, Kejawen. Golongan Jawa pendatang biasanya berorientasi pada budaya asal mereka. Namun yang menonjol adalah mereka yang berorientasi pada budaya Jawa Solo ataupun Yogya yang dianggap memiliki nilai budaya yang tinggi. Dalam tataran pergaulan sosial orang Semarang asli merasa memiliki tingkatan yang lebih rendah dalam nilai-nilai dan budaya dibanding orang Jawa yang berorientasi pada budaya kraton atau berorientasi priyayi. Di kalangan orang Cina dapat dibedakan antara Cina totok atau singkek yang berorientasi pada budaya asli Cina dan Cina peranakan yang berorientasi pada budaya Barat. Disamping itu ada juga Cina Islam, yang menurut subjek Fa mengalami penurunan derajat sosial paling rendah dimata orang Cina sendiri karena menjadi Islam. Mengacu pada teori identitas sosial bahwa pada setiap kategori sosial melekat suatu kekuatan, status dan martabat yang pada akhirnya memunculkan suatu struktur sosial yang khas dalam masyarakat, yaitu suatu struktur sosial yang menentukan kekuatan dan status hubungan antar individu dan antarkelompok. Demikian pula dengan kelompok-kelompok sosial yang ada di Semarang baik Jawa, Cina maupun yang lain melakukan proses pembandingan sosial yang dipandang sebagai cara untuk menentukan posisi dan status identitas sosialnya. Berpijak pada pemahaman tersebut peneliti melihat bahwa masing-masing kelompok yang ada sudah mengetahui citranya masing-masing dibanding kelompok lain. Selalu ada upaya untuk memiliki identitas sosial yang positif serta berusaha mempertahankannya. Di kalangan Cina peranakan yang merasa memiliki citra sosial tingkat atas akan menjaga citra tersebut dengan lebih banyak menjalin relasi dengan kalangan yang dipandang setingkat, misalnya para pejabat, kalangan ningrat, priyayi dan menjaga jarak dengan golongan yang lebih rendah. Golongan Cina yang didikan Barat ini bersikap sebagai ndoro yang akan sungguh-sungguh akan menjaga jarak dengan pembantunya di rumah. Dalam hal perjodohanpun tetap dijaga agar memiliki jodoh yang setingkat. Kemudian muncul istilah perawan gedongan’, gadisnya mahal maka yang melamar harus kaya. Kalangan Cina totok lebih membaur termasuk dengan kalangan pribumi. Hal tersebut karena mereka merasa memiliki status sosial yang tidak jauh berbeda karena di daerah asalnya mereka juga berasal dari desa dengan ketrampilan pekerja kasar. Ketika mereka membaur dengan pribumi tidak memperburuk citranya, namun justru mendapat manfaat fungsional yang lain misalnya untuk kepentingan usaha / bisnisnya maupun untuk kepentingan relasi sosial yang lain. Dari kalangan Cina totok ini relasi yang lebih intim dengan orang Jawa seperti perkawinan lebih mungkin berlangsung. Seperti yang terjadi pada kakek Subjek G menikah dengan perempuan Jawa sebagai istri ketiga agar bisa mendapatkan keturunan anak laki-laki. Di kalangan ini juga biasanya bersikap lebih dekat dengan pembantu di rumah. Seperti yang dikatakan oleh Subjek H mereka biasanya ngopeni para pembantunya sehingga krasan ikut bertahun-tahun. Modus Cina Islam untuk menaikkan citra identitas sosialnya yang terpuruk juga cukup menarik. Menjadi Islam di kalangan orang Cina konon merupakan aib besar bagi komunitas Cina. Itulah sebabnya mereka biasanya diberi sanksi sosial dengan label-label negatif tertentu, bahkan derajatnya turun, ke-Cina-annya mungkin dianggap hilang, dikucilkan, bisa saja diusir. Memiliki identitas sosial yang sedemikian rendah merupakan pengalaman fenomenal yang menyesakkan dan selalu ada upaya untuk lepas dari citra tersebut. Mengacu pada teori identitas sosial maka upaya untuk menaikkan citra identitas sosial kelompok dapat dilakukan melalui perubahan sosial yaitu dengan meningkatkan citra positif kelompok. Hal tersebut diantaranya melalui pendekatan organisasi seperti PITI Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia yang eksistensinya semakin diakui, publikasi informasi positif tentang Cina Islam. Upaya menaikkan citra indentitas sosial juga dapat dilakukan dengan mobilitas sosial yaitu perpindahan individu dari kelompok yang lebih rendah ke lebih tinggi. Hal ini terjadi di kalangan orang Jawa golongan bawah yang ikut atau bekerja pada orang Cina. Mobilitas sosial yang dilakukan memang tidak dalam bentuk perubahan total namun sifatnya lebih mengadopsi ataupun belajar dari kebiasaan positif orang Cina. Banyak penjual makanan-makanan khas Cina seperti lumpia adalah orang Jawa seperti terlihat di sepanjang Jl. Mataram Haryono. Menurut Subjek Y, mereka yang pinter ketika ikut tauke bos Cina akan bekerja loyal, mau belajar cara hidup dan cara dagang bos. Setelah merasa cukup biasanya berani merintis usaha sendiri dan jika sukses bisa menjadi juragan. Jika bertitik tolak pada hasil penelitian tentang stereotip dan prasangka terlihat bahwa relasi antara orang Cina dengan orang Jawa di Semarang pada dasarnya dapat berlangsung dengan wajar. Dari kalangan orang Jawa memiliki pandangan positif tentang etos kerja orang Cina rajin, pandai, suka bekerja keras, bukan tipe pemalas. Namun untuk membangun relasi yang lebih akrab dan dekat nampak masih ada hambatan karena adanya pandangan negatif di kalangan orang Jawa bahwa orang Cina itu memiliki sifat tertutup terhadap orang bukan Cina. Demikian juga orang Cina dianggap berorientasi pada materi. Mengacu pada pendapat Wasino 2006 hal ini membuat relasi menjadi kurang klop karena orang Jawa itu lebih mengedepankan noto roso sedangkan orang Cina lebih mengedepankan noto bondho. Dari pihak orang Cina sendiri juga ditemukan pandangan positif terhadap orang Jawa yaitu bahwa orang Jawa itu pada umumnya orang yang sopan, ramah, baik. Hal ini sebenarnya merupakan sinyal positif untuk membangun relasi yang lebih dekat dengan orang Jawa. Namun demikian untuk hal-hal yang berkaitan dengan urusan bisnis ataupun dunia kerja, orang Cina pada umumnya kurang begitu mempercayai kemampuan orang Jawa. Hal ini karena masih berkembangnya pandangan negatif bahwa orang Jawa itu pemalas, kurang memiliki jiwa bisnis, kurang perhitungan dalam bertindak. Sehubungan dengan pola relasi tersebut diatas maka berdasarkan pengakuan Subjek I yaitu orang Cina yang banyak bersahabat dengan orang Jawa, maka Subjek I ketika bergaul dengan orang Jawa akan menghindari menampilkan sikap dan tindakan yang kurang disenangi orang Jawa, yaitu dengan menghindari pembicaraan tentang untung rugi, masalah perhitungan-perhitungan. Kalau dengan Cina khususnya dengan orang yang baru dikenal, ia akan berbicara tentang keluasan relasinya dengan orang-orang Cina. Pengalaman Subjek B orang Jawa ketika pertama kali datang ke Semarang dan masuk dunia bisnis, maka ia merasa dipandang sebelah mata oleh kolega bisnis orang Cina. Ia perlu usaha keras dan mencoba berbagai cara untuk meyakinkan bahwa walaupun orang Jawa ia juga mampu berbisnis. Dalam hal ini ia banyak melakukan pendekatan kekeluargaan, misalnya dengan mengirim makanan. Dari data tentang jarak sosial yang mengungkap berbagai kemungkinan aktivitas dua pihak dengan mempertimbangkan dimensi keintiman terlihat ada pola yang khas dalam relasi multikultural antara orang Cina dan Jawa. Orang Cina pada dasarnya mampu bergaul dengan orang Jawa dalam bentuk persahabatan, kehidupan bertetangga baik di tempat tinggal maupun di kos-kosan untuk mahasiswa. Pergaulan di tempat kerja maupun di sekolah juga tidak ada persoalan. Namun demikian untuk relasi yang lebih intim seperti pacaran, perkawinan dan hubungan saudara ipar maka terjadi penolakan lebih kuat dibanding orang Jawa. Pada orang Jawa yang sudah biasa berinteraksi dan mengenal orang Cina maka persahabatan, hubungan bertetangga dan hubungan di tempat kerja ataupun sekolah relatif tidak terjadi penolakan yang berarti. Untuk relasi yang lebih intim seperti pernikahan, pacaran dan hubungan saudara ipar terjadi penolakan yang lebih kuat namun tidak sekuat penolakan orang Cina. Namun pada orang Jawa yang kurang biasa bergaul dan bertemu dengan orang Cina terjadi penolakan yang lebih kuat dibanding orang Jawa yang biasa berinteraksi dan bertemu dengan orang Cina . Hal tersebut terjadi pada semua aktivitas baik aktivitas antarpribadi, aktivitas di tempat tinggal dan aktivitas di kampus. Pada tataran praksis sehari-hari gambaran dari kecenderungan di atas diantaranya tercermin dari informasi yang disampaikan Subjek I dan B bahwa dalam hal perkawinan antara orang Jawa dan orang Cina maka penolakan lebih kuat terjadi pada keluarga Cina. Di kalangan keluarga Cina masih berkembang pandangan negatif jika memiliki menantu orang Jawa. Jika pihak Jawa adalah perempuan maka diyakini suka menghabiskan harta mertuanya. Jika pihak Jawa adalah laki-laki maka biasanya diragukan dalam kemampuan secara ekonomi untuk memenuhi kehidupan rumah tangganya. Dari pihak keluarga Jawa biasanya relatif moderat. Mungkin saja di awal terjadi penolakan. Misalnya dalam kasus pacaran Subjek An pria Jawa dengan gadis Cina maka Ibunya pernah berkomentar”Apa ora ana liyane apa tidak ada gadis lain” ? Namun ketika terlihat bahwa mereka berpacaran sungguh-sungguh dan sudah sama-sama senang biasanya pandangan orangtua berubah. Sebagaimana dikemukakan Subjek B bahwa orangtua pihak Jawa yang bijaksana biasanya akan memberikan gambaran resiko-resiko yang akan dihadapi jika hubungan diteruskan. Menurut B orang Cina tidak mudah menerima orang bukan Cina untuk diterima secara akrab dan lebih akrab lagi. Kebanyakan relasi yang dibangun lebih bersifat fungsional misalnya dalam urusan bisnis. Kebanyakan akan diterima di toko ataupun di luar rumah. Dari sedikit orang yang dapat diterima sebagai sahabat akrab dan kemudian diajak makan di rumah, diperlihatkan foto-foto maka hal ini lebih disebabkan faktor kecocokan pribadi. Kalau sudah seperti ini orang Cina biasanya tidak perhitungan lagi. Namun demikian bentuk relasi yang sifatnya lebih netral kiranya dapat memfasilitasi berlangsungnya relasi multikultural yang intensif. Misalnya dalam hubungan persahabatan, hidup bertetangga, aktivitas di sekolah ataupun pekerjaan, kesenian. Seperti yang berlangsung dalam kehidupan di rumah kos, para Subjek mengaku bahwa mereka mendapatkan pengalaman positif ketika harus hidup bersama dengan teman-teman kos yang berasal dari berbagai etnis dan agama. Mereka pada umumnya memiliki kesempatan mengenal lebih banyak sifat-sifat teman kos yang berbeda-beda tersebut. Mereka yang pada awalnya berprasangka, ketika berkesempatan berinteraksi langsung dapat melakukan konfirmasi tentang mana yang tepat dan kurang tepat. Pada umumnya Subjek dapat menyadari semua orang memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing. Yang menarik dari ke lima Subjek memiliki pendapat bahwa jika terjadi konflik ataupun ketidak sesuaian lebih disebabkan oleh sifat-sifat pribadi, bukan masalah perbedaan etnis. Dalam teori hipotesis kontak dikatakan bahwa adanya kesempatan kontak akan membuka kesempatan untuk mengklarifikasi kesalahan persepsi dan belajar kembali dengan informasi baru. Namun juga ditekankan terciptanya kondisi kontak yang berkualitas yang mengedepankan kesederajatan, hubungan yang saling menghargai dan kontak-kontak interpersonal. Pembahasan berikut adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menunjang terbentuknya kemampuan hidup multikultural. Berdasarkan pengakuan pengalaman multikultural subjek maka kemampuan hidup secara multikultural dipengaruhi oleh 1. Pendidikan multikultural dalam keluarga. Hal tersebut terutama terungkap dalam pengalaman Subjek Y, I dan B. Subjek Y memiliki orang tua yang bergaul dengan siapa saja baik dari kalangan atas maupun kalangan bawah. Keluarga Subjek I termasuk langka karena sebagai keluarga Cina mau tinggal di kampung. Bapak Subjek I orang yang akrab dan banyak bergaul dengan orang Jawa, mampu berbicara cara halus krama dalam bahasa Jawa. Subjek B memiliki bapak yang diterima sebagai sahabat baik oleh keluarga Cina dan sejak kecil Subjek terbiasa bergaul dengan anak-anak Cina. 2. Keluasan dalam pergaulan Semua Subjek memiliki pergaulan yang luas atau setidaknya pergaulan yang lebih terbuka. Pengalaman G, H sejak kecil termasuk anak Cina yang suka blusukan dan tidak hanya bergaul dengan orang Cina saja. G bahkan bergaul dengan anak Kauman, anak dari kalangan bawah, anak tentara. G mengaku bahwa ia lebih banyak memiliki kawan Jawa daripada kawan Cina. H merasa berbeda dengan adik adiknya yang sejak SD sudah disekolahkan ke Singapura. Ia punya kesempatan blusukan sampai SMA sebelum akhirnya melanjutkan sekolah di Amerika. Sampai sekarangpun H masih bergaul dengan siapa saja baik dari kalangan atas maupun kalangan bawah, maupun bermacam agama dan etnis. Subjek I sejak mahasiswa juga banyak bergaul dan punya teman dekat non-Cina. 3. Keluasan wawasan dan intelektualitas Hal tersebut nampak kuat pada pemikiran-pemikiran H dalam menjelaskan konsep dan pandangannya tentang bagaimana secara praksis menjalankan kehidupan multikultural dalam masyarakat. Seperti ketika menjelaskan dasar pemikirannya untuk merevitalisasi kawasan Pecinan lebih terbuka, ia mampu menelaah dari sisi lain yang selama ini kurang dilihat atau diperhitungkan orang seperti membuka Pecinan untuk umum. Ia menggunakan istilah membalik logika. Kalau orang kebanyakan menolak karena takut nanti kawasan Pecinan dijadikan sasaran pertama ketika terjadi kerusuhan, namun H justru berpikiran bahwa jika Pecinan terbuka justru akan dilindungi oleh yang lain. Juga dasar pemikirannya untuk ikut mendorong kemajuan golongan lain dalam rangka mencapai harmoni secara keseluruhan. Ia mencoba mengimplementasikan pandangan seorang ahli Konfusius yang mengatakan, “yang membesarkan kamu bukan kamu sendiri tetapi orang lain. Kalau kamu mau memupuk tanaman jangan langsung di tanamannya namun tanah di sekitar tanaman”. 4. Sikap mengedepankan nilai kemanusiaan dan universalitas Hal tersebut nampak kuat ditemukan pada prinsip-prinsip yang dijalankan oleh Subjek Y. Ia pribadi yang memiliki rasa sosial dan kemanusiaan yang tinggi. Sejak kecil ia diajarkan orangtua dan kakek neneknya untuk bergaul dan membantu siapa saja. Hal ini yang ia jalankan sampai sekarang. Ia bergaul dan membantu siapa saja tanpa membeda-bedakan golongan. Orang-orang seperti Y mampu melampaui orientasi berlebihan pada golongan etnosentrisme yang seringkali menjerat orang ke dalam kotak-kotak. 5. Pengalaman kontak langsung Subjek G mengaku bahwa keterbukaan sikapnya terhadap kehidupan multikultural ketika kuliah di Yogya. Disana ia merasa tidak dibeda-bedakan, dipanggil Mas’. Saat itulah ia mulai terbuka untuk belajar kesenian Jawa. Subjek punya tekad untuk berubah yaitu dengan meninggalkan ke-Cina-annya dan ingin lebih menjadi orang Indonesia. Pengalaman kontak langsung mampu membuka wawasan multikultural Subjek yang kos dengan kawan berbagai etnis dan agama, juga sangat kentara sekali pada siswa yang sekolahnya menerima siswa beragam etnis seperti di SMA Loyola. Hal lain patut dicermati adalah dinamika kehidupan lintas distrik seperti Pecinan, Kauman, Pekojan dan juga distrik kawasan Pemerintahan baik Pemkot Semarang maupun Gubernur Jawa Tengah. Pengalaman Subjek G ketika kecil adalah diejek oleh anak-anak Kauman” “Balik kana neng Tiongkok” ketika bermain distrik Islam tersebut. Hal tersebut memberikan kesan dan pengalaman negatif bahwa kawasan Kauman tidak dapat menerima dirinya karena ia orang Cina. Demikian pula ketika budayawan Djawahir Muhammad memprotes pemasangan lampion di jalan-jalan utama Semarang pada waktu Semarang Pesona Asia menunjukkan bahwa orang harus mengerti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di distrik tertentu. Secara fisik penandanya jelas dapat dilihat pada distrik-distik tersebut. Kalau di Kauman distrik Islam dengan cirinya adalah Masjid Agung Kauman. Pecinan memiliki penanda bangunan fisik berupa kelenteng. Kawasan pemerintahan ditandai oleh gedung-gedung pusat pemerintahan. Untuk membangun relasi yang lebih harmonis lintas distrik memang diperlukan aturan main dan kepekaan tertentu tentang apa yang boleh dan tidak boleh. Memang menjadi sulit dan kurang luwes jika jika hanya berpijak pada aturan main itu dituangkan secara tertulis. Yang lebih penting sebetulnya inisiatif ataupun kemauan baik masing-masing pihak untuk mengatasi dan menghindari konflik. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah peran kepala daerah baik Walikota maupun Gubernur sebagai fasilitator dan penengah diantara komunitas budaya yang beragam. Kehadiran Walikota ataupun Gubernur dalam berbagai acara yang bernuasa etnis ataupun agama seperti Dugderan, Festival Cheng Ho, Festival Pasar Jawi merupakan salah satu tindakan strategis untuk menunjukkan sikap adil terhadap semua kelompok. Hal tersebut juga dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap keberadaan semua kelompok masyarakat dan budaya yang ada di Semarang. Gaya kepemimpinan multikultural khas Semarang memiliki peran kunci untuk menjaga keselarasan multikultural. Fenomena kelenteng Sam Poo Kong sebagai rumah ibadah yang inklusif merupakan salah satu fenomena multikultural khas Semarang. Menurut pendapat peneliti ada sejumlah faktor yang mendorong kelenteng Sam Poo Kong menjadi multikultural. Pertama adalah faktor historis kisah Laksamana Cheng Ho yang menjadi semacam mitos yang mendorong kepada keyakinan yang kuat terutama sikap multikultural dari Cheng Ho. Disamping itu komunitas Cina Semarang sekarang ini memiliki kepentingan kuat untuk untuk menjalankan ritual budaya Cina yang juga terkait dengan persoalan historis. Terkait dengan berbagai kepentingan tersebut maka ada kata kunci yang mampu mencairkan yaitu kelenteng Sam Poo Kong merupakan monumen hidup pluralisme keagamaan. Jadi fungsi kelenteng selain sebagai tempat peribadatan bagi pemeluknya juga terbuka untuk objek wisata bernuansa relijius. Modus yang terjadi pada kelenteng Sam Poo Kong tersebut menurut teori Lapangan merupakan proses pencairan permiabilitas kawasan yang lebih membuka diri bagi berlangsungnya kehidupan multikultural. Kesimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan tentang unsur-unsur multikultral dan pola relasi multikultural masyarakat Semarang sebagai berikut 1. Budaya Jawa, Islam dan Cina memiliki pengaruh dominan dalam kehidupan multikultural kota Semarang. 2. Dinamika relasi multikultural diantara kelompok sosial yang ada ditentukan oleh status sosial setiap kelompok. Beragam kelompok-kelompok sosial yang ada di Semarang baik itu kelompok etnis, agama pada dasarnya memiliki status sosialnya masing-masing, baik yang tinggi maupun rendah. Relasi lebih mudah berlangsung diantara kelompok sosial yang memiliki status sosial yang setara. Relasi yang terjadi antara kelompok sosial dengan status sosial yang berbeda dapat berlangsung melalui mobilitas sosial. 3. Faktor yang menentukan kemampuan warga untuk hidup secara multikultural adalah pendidikan dalam keluarga, keluasan dalam pergaulan, keluasan wawasan dan intelektualitas, sikap mengedepankan nilai kemanusiaan dan universalitas dan pengalaman kontak langsung. 4. Kehidupan secara multikultural lebih mudah berlangsung pada aktivitas publik seperti hubungan bertetangga, kerja, keagamaan, pendidikan, kesenian, pasar, sekolah, tempat tinggal, kelenteng, acara kesenian dan kawasan publik lainnya. Hambatan untuk menjalankan kehidupan multikultural lebih sulit berlangsung pada aktivitas sosial dengan tingkat keintiman yang tinggi seperti pernikahan. 5. Diperlukan kemampuan kepemimpinan multikultural baik pada pimpinan daerah seperti Gubernur dan Walikota beserta perangkatnya maupun para pemimpin komunitas etnis, agama yang ada. DAFTAR PUSTAKA Ashmore, dkk. 2001. Social Identity, Intergroup Conflict, and Conflict Reduction. New York Oxford University Press Asya’arie, M. 2004. Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa. Harian Kompas, 3 September 2004. Baron, Byrne, D. & Suls, Exploring Social Psychology. Boston Allyn and Bacon. Berry, dkk. 1999. Psikologi Lintas Budaya. Riset dan Aplikasi. Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama. Hogg, & Abram, Social Identification A Social Psychology of Intergroup Relation and Group Processes. London Routledge. Judd, el al. 1995. Stereotype and Etnocentrism Diverging Interethnic Perception of Africa American and White American Youth. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 69, 3,460-481. Leyens, Yzerbyt, V & Schadron, Stereotype and Social Cognition. London Sage Publications Ltd. Myers, Social Psychology. 4rd. ed. New York Shaw, M. E & Costanzo, 1982. Theories of Social Psychology. Singapore McGraw-Hill. Inc. Sarwono, Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta Balai Pustaka. Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural. Makalah. Simposium Internasional Bali ke 3. JurnalAntropologi Indonesia. Denpasar 16 – 21 Juli 2002 Susetyo, Stereotip dan Relasi Antar Etnis Cina dan Etnis Jawa Pada Mahasiswa di Semarang. Tesis. Tidak diterbitkan. Depok Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. -. 2004. Mengelola Perbedaan dalam Masyarakat Majemuk. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Aplikasi Multikultural Pada Masyarakat Majemuk, Pusat Studi Etika Unika Soegijapranata Semarang – 5 Februari 2004 Susetyo, dan Hardiyarso, Stereotip Dalam Relasi Antaragama. Studi Pada Mahasiswa Islam dan Kristiani di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. Seri Kajian Ilmiah. Vol. 12 No. 3 Hal. 131-200. Taylor, & Moghaddam, Theories of Intergroup Relations. London Praeger. Warnaen, S. 2001. Stereotip Etnis Dalam Masyarakat Multietnis. Yogyakarta Penerbit Mata Bangsa Wasino. 2006. Wong Jawa dan Wong Cina. Liku-liku Hubungan Sosial antara Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911 – 1998. Semarang UPT UNNES Press Widiyatmadi,E, 2005. Hidup di Tengah Masyarakat Plural. Jurnal Ilmiah Psikologi Manasa. April 2005, hal. 22-25. ... Disisi lain, Kota Semarang juga tak luput dari kesejarahan Tionghoa Muslim Thian Joe, 2004. Kota ini pun memiliki beberapa daerah yang lekat dengan budaya Jawa, Islam, dan Cina Susetyo, 2011. Sehingga, kalangan PITI Semarang menjadi pilihan tepat untuk menilik proses pembentukan identitas sosial-budaya Tionghoa Muslim. ...The New Order government encouraged ethnic Chinese Indonesians as the local population, resulting new identity as Chinese Muslims, then the group formed PITI. This research is analyzing the forming of Chinese Muslim socio-cultural identity among PITI from the perspective of Tajfel and Turner's social identity theory. The descriptive qualitative research method used in this research, and the data obtained from semi-structured in-depth interviews, observations, and documentation and/or literature studies. The results showed that Chinese Muslims tried to maintain and gain a positive social identity. It can be seen from individual and collective efforts to form different socio-cultural identities, some Muslim Chinese identify Chinese socio-cultural, some identify Javanese recent work on stereotyping has dealt with groups that are either artificially created or that do not have an extensive history of conflict. The authors attempted to overcome this limitation by examining issues of perceived variability and ethnocentrism among samples of White American and African American youth. The goals were both to examine theoretical issues in stereotyping and to describe the current state of ethnic interrelations among young people. Four studies are reported. Throughout, the samples of African Americans demonstrate interethnic judgments that are consistent with existing work on stereotyping and ethnocentrism. White American students, however, reported judgements that replicate neither the out-group homogeneity effect nor ethnocentrism. Alternative explanations for this difference are considered, and the discussion focuses on differing views concerning the role of ethnic identity and diversity in our society."Stereotypes and Social Cognition" . . . provides a coherent and much needed overview of the key arguments and empirical developments in research on stereotypes. The authors cover a wide range of diverse literatures and theoretical perspectives to present a comprehensive critique of the subject. The text spans a review of the classical work on psychodynamic and authoritarian theories through to contemporary sociocultural research. Moreover, the authors offer a close analysis of key theoretical approaches including social identity theory, social cognition and self-categorization theory. At the same time relevant cross-cultural issues are explored. This . . . book will be essential reading for students and academics in social psychology and for anyone with an interest in the phenomenon of social stereotyping. PsycINFO Database Record c 2012 APA, all rights reservedPendidikan Multikultural dan Konflik BangsaM Asya'arieAsya'arie, M. 2004. Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa. Harian Kompas, 3 September A BaronD ByrneJ SulsBaron, Byrne, D. & Suls, Exploring Social Psychology. Boston Allyn and G MyersMyers, Social Psychology. 4 rd. ed. New York Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi SosialS W SarwonoSarwono, Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta Balai Dalam Relasi Antaragama. Studi Pada Mahasiswa Islam dan Kristiani diD P SusetyoS Dan HardiyarsoSusetyo, dan Hardiyarso, Stereotip Dalam Relasi Antaragama. Studi Pada Mahasiswa Islam dan Kristiani di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. Seri Kajian Ilmiah. Vol. 12 No. 3 Hal. Hubungan Sosial antara Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911-1998Wasino. 2006. Wong Jawa dan Wong Cina. Liku-liku Hubungan Sosial antara Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911-1998. Semarang UPT UNNES Press Widiyatmadi,E, 2005. Hidup di Tengah Masyarakat Plural. Jurnal Ilmiah Psikologi Manasa. April 2005, hal. Jawa dan Wong Cina. Liku-liku Hubungan Sosial antara Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911 -1998S WarnaenWarnaen, S. 2001. Stereotip Etnis Dalam Masyarakat Multietnis. Yogyakarta Penerbit Mata Bangsa Wasino. 2006. Wong Jawa dan Wong Cina. Liku-liku Hubungan Sosial antara Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo tahun 1911 -1998. Semarang UPT UNNES Press Widiyatmadi,E, 2005. Hidup di Tengah Masyarakat Plural. Jurnal Ilmiah Psikologi Manasa. April 2005, hal. 22-25.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Sejak awal abad ke-20, struktur masyarakat Indonesia yang masih ke sukuan mulai tergugat karena munculnya ide nasionalisme dan integrasi dari sekelompok elit Nusantara Marzali, 2009. Wacana tentang perwujudan integrasi nasional di Indonesia telah banyak dibahas dan dicanangkan oleh berbagai pihak termasuk pemerintah dan institusi-institusi yang terkait. Perwujudan integrasi nasional ini menjadi penting karena pada dasarnya, dalam pembangunan nasional dibutuhkan gerak yang searah dari berbagai pihak dalam sebuah negara untuk mencapai tujuan-tujuan yang mengarah mada kesejahteraan dan ketentraman etnik yang masih banyak terjadi di Indonesia ini menjadi tantangan dan ancaman tersendiri bagi terciptanya integrasi nasional bangsa ini. Berdasarkan gambaran dari Furnival dalam Suparlan, 2005, masyarakat majemuk Indonesia cenderung tidak menjadi satu dan tidak merasa satu, mereka memiliki tradisi kultural sendiri dan memiliki interaksi yang sangat terbatas dengan kelompok suku lain. Lalu apakah ini hanya di diamkan saja? Pada dasarnya, perbedaan budaya, cara pandang, dan adat istiadat harus disinergikan satu sama lain, membangun rasa kebersamaan dalam suatu wilayah, dengan melepaskan simbol-simbol primordial dari komunitas adat, agar tercapai sebuah integrasi nasional yang telah dicita-citakan sejak Indonesia belum ini berupaya mengaitkan berbagai jenis masalah yang terdapat dalam pemicu menjadi satu kesatuan, yaitu seputar ancaman mengenai terwujudnya integrasi nasional Indonesia, masalah komunitas/masyarakat adat yang terjadi di Indonesia, bagaimana cara menyikapi, mengatasi dan mencegahnya, termasuk juga langkah konstruktif pemerintah dalam mengatasi berbagai permasahan ini dan mengembangkan kegiatan budaya kearifan lokal, yang saya rangkum dalam judul “Problematika Integrasi Nasional dan Masyarakat Adat di Indonesia”. Masalah Komunitas Adat Ancaman terhadap Integrasi NasionalSebuah bangsa terdiri atas berbagai macam etnis atau suku yang hidup bersama dalam suatu daerah dan saling berinteraksi satu sama lain. Fakta tersebut disajikan di Negara Indonesia yang menjadi salah satu negara di dunia yang memiliki tingkat pluralitas atau heterogenitas etnis yang sangat beraneka ragam. Mereka membentuk sebuah komunitas adat yang memiliki identitas budaya yang berbeda satu sama harus diketahui dari fakta lapangan yang terjadi di Indonesia, baik dengan cara melihat secara langsung maupun dengan berbagai pemberitaan di media massa, dapat kita diketahui dengan nyata bahwasannya pluralitas yang terjadi di Indonesia memiliki sebuah ancaman atau tantangan, yang berupa “konflik”. Konflik ini sering terjadi dikarenakan terdapat cara pandang tertentu dalam suatu etnis yaitu primordialisme dan juga etnosentrisme, yang diwujudkan dalam bentuk stereotip terhadap suku bangsa lain, ini merupakan bentuk sikap egois dan ingin menang sendiri yang dapat mengarahkan masyarakat yang hidup dalam suatu etnis untuk terus berprasangka buruk terhadap suku bangsa/etnis lain sehingga mudah terprovokasi dan memunculkan konflik perspektif antropologi hukum, fenomena konflik dapat muncul karena adanya konflik nilai, konflik norma, dan juga konflik kepentingan antar komunitas etnis, golongan ataupun agama dalam masyarakat Najwan, 2009. Seperti yang sudah disinggung diatas, tingkat pluralitas atau heterogenitas yang tinggi sering menimbulkan gesekan-gesekan terjadi dalam masyarakat yang mengarah pada tindakan konflik dan kerusuhan. Konflik tersebut sering disebut sebagai konflik horizontal yang aktor utamanya adalah suku-suku yang saling mempertahankan kepentingannya, nilai, norma, maupun adat budaya etnisnya. Masalah ini memang tidak dapat dihindari, seperti yang diugkapkan Dahendrof dalam Suparlan 2005 bahwa konflik merupakan suatu yang endemik dan selalu ada dalam kehidupan manusia bermasyarakat. Terdapat banyak sekali konflik antar suku atau antar komunitas adat yang terjadi di Indonesia. Disini saya menuliskan dua kasus yang cukup terkenal. Yang pertama adalah kasus yang terjadi di daerah Sambas, Kalimantan Barat pada tahun 1999, yaitu konflik antara suku Melayu Sambas dengan suku Madura. Konflik ini menyebabkan sekitar 1800 tempat tinggal hancur, banyak nyawa melayang dan kerugian materi atau infrastruktur yang tidak terhitung, bahkan konflik ini menyebabkan suku Madura terusir dari wilayah adalah kasus konflik antar etnis yang sering terjadi di Provinsi Lampung. Karena pada dasarnya, Provinsi Lampung merupakan daerah tujuan transmigrasi sehingga tidak mengherankan bahwa di wilayah ini sering terjadi konflik antar etnis. Koflik antar suku yang paling tertanam dan masih teringat hingga sekarang adalah konflik yang terjadi antara suku Bali Nuraga dengan etnis Lampung asli di daerah Kalianda Kabupaten Lampung Selatan pada 27 Oktober 2012 sampai dengan 29 Oktober 2012. Dari pemetaan Kepolisian Daerah Polda Lampung, ada 112 titik potensi konflik di Lampung sejak 2012 hingga sekarang, 68 di antaranya terdapat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dijabarkan bahwa terdapat 18 potensi konflik suku, agama, ras, dan antargolongan SARA, 22 potensi konflik sumber daya alam SDA, dan 4 potensi konflik terkait batas wilayah antar suku yang berlarut-larut merupakan suatu pelanggaran HAM dan merupakan bencana bagi negara. Hal ini merupakan salah ancaman bagi terciptanya integrasi nasional di Indonesia. Mengapa hal ini menjadi ancaman?. Pertama-tama kita harus memahami, apa makna dari integrasi itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “integrasi” bermakna sebagai pembauran hingga menjadi kesatuan. Kata “kesatuan” mengisyaratkan berbagai macam elemen yang berbeda satu sama lain mengalami proses pembauran. Jika pembaruan telah mencapai suatu perhimpunan, maka gejala perubahan ini dinamai integrasi. 1 2 3 4 Lihat Humaniora Selengkapnya
Ilustrasi Masyarakat Perkotaan itu Permasalahan Sosial pada Masyarakat Perkotaan?Apa itu Masyarakat Perkotaan?Apa Saja Permasalahan Sosial Yang Muncul pada Masyarakat Perkotaan? Dan Bagaimana Penyelesainnya?Ilustrasi Permasalahan Sosial
jika sering terjadi kerusuhan maka kehidupan masyarakat menjadi tidak