Begitujuga jika dia berada di suatu daerah yang telah menetapkan bahwa tanjak Mahkota Alam merupakan tanjak yang hanya boleh dipakai oleh pemimpin negeri, maka dia tidak pula boleh leluasa memakai tanjak tersebut di daerah itu. "Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung," katanya. Fungsi tanjak sebagai identitas atau taraf kasta di suatu tempat kembali pada aturan atau protokol masing daerah tersebut. Palembang - Tanjak Palembang adalah aksesoris penutup kepala khas Palembang yang biasa dipakai Priyai, bangsawan, dan pegawai kerajaan ketika zaman dulu. "Sejarahnya Tanjak ini sebenarnya tradisi melayu masyarakat orang melayu kalau dulu masih masa kerajaan ini hanya dipakai oleh para priyai dan segala macam. Tanjakadalah salah satu perlengkapan pakaian yang dipakai oleh bangsawan dan tokoh masyarakat Melayu di masa lalu. Pemakaian tanjak atau tengkolok atau destar ini dikaitkan dengan istana, kepahlawanan dan dipakai dalam pelbagai acara adat istiadat masyarakat Melayu. Vay Tiền Nhanh. Laporan wartawan Tribun Pekanbaru, Mayonal Putra SIAK - Melilitkan kain di kepala menjadi ciri khas kaum adam di daratan Melayu. Bentuk kain bisa beragam, seni melilitkannya juga cukup variatif. Kain yang dililitkan di kepala itu dinamakan Tanjak. Ibarat kaum pria Jawa memakai blangkon, sebagai simbol adat Jawa, yang sudah sangat populer di Indonesia. Keberadaan Tanjak di daratan Melayu juga sebagai ciri khas sejak bumi terbentang. Kini, di berbagai daerah kembali mempopulerkan yang menjadi ciri dan simbol adat tersebut. Seperti di kabupaten Siak, pupati, pejabat hingga anak muda kembali gemar memakai tanjak. Tentu saja dengan bentuk dan variasi yang sudah dimodifikasi. Kenapa kaum pri Melayu Siak memakai Tanjak? Tentu mempunyai alasan yang mengakar jika dirunut dari sejarah dan fungsinya. Sebenarnya, Tanjak dianggap lambang kewibawaan di kalangan masyarakat Melayu. Semakin tinggi dan kompleks bentuknya, menunjukkan semakin tinggi pula status sosial sipemakainya. Ketua Majlis Kerapatan Adat Lembaga Adat MKA Melayu Riau LAMR Kabupaten Siak, Zulkifli ZA menerangkan, tanjak biasa dipakai masyarakat Melayu di seluruh lapisan kelas sosial, baik di lingkungan kerajaan sebagai kalangan bangsawan maupun pada lapisan masyarakat kelas bawah. "Begitu seorang pria meninggalkan rumah, biasa ia mengenakan tanjak. Fungsinya sebagai penutup kepala dari gangguan udara maupun reranting kayu. Awalnya berbentuk ikat biasa, lama kelamaan cukup variatif dan gaya," kata dia, Jumat 3/2/2017. Pembuatan tanjak yang lebih berkreasi digagas oleh orang Melayu dahulu yang aktif di bidang gerak tangan. Kreasi yang muncul pada awalnya diberi nama tebing runtuh, belalai gajah, pial ayam, elang menyongsong angin dan lain sebagainya. Penamaan itu juga menyesuaikan bentuk tanjak yang dibuat. Sehingga sangat populer di dunia Melayu. "Sayangnya sekarang, tanjak atau disebut juga dengan ikat, yang dibuat pada zaman kerajaan memang sangat sulit ditemukan," kata dia. Sedangkan bentuknya, ada juga disebut dengan ikat sabelit. Di lingkungan Kerajaan Siak, dulu, yang cukup terkenal adalah ikat Pial Ayam. Ini biasa dipakai para panglima. Sedangkan ikat Elang Menyongsong Angin biasa dipakai oleh Datuk Limapuluh. Khusus untuk Datuk Pesisir, ciri khasnya adalah ikat Hangtuah. "Ikat Elang Menyongsong Angin ini melambangkan kebijaksanaan dan kecermatan elang dalam memainkan gerak angin. Sementara ikat Hang Tuah melambangkan ketegasan," kata dia. Selain bentuk, warna juga sangat beragam. Zulkifli menjelaskan, tanjak adat biasanya berwarna hitam, sedangkan untuk pengantin disesuaikan dengan pakaian. "Biasanya ikat pengantin itu ikat Hangtuah, namun sekarang banyak yang meniru ikat Dendam Tak Sudah yang populer di Malaysia," kata Sang Datuk. - Tanjak adalah penutup kepala adat Melayu yang berbentuk runcing ke atas. Tanjak yang disebut juga mahkota kain/ikat-ikat/tengkolok adalah salah satu perlengkapan pakaian di Palembang yang dipakai oleh bangsawan dan tokoh masyarakat di masa lalu. Hal tersebut disampaikan Dosen LB Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang sekaligus sejarawan Sumsel Kemas AR Panji, dikutip dari Rabu 10/2/2021."Berdasarkan cerita Herolint, tanjak sudah ada sejak masa Kesultanan Palembang berkuasa dan dipakai oleh para priyai/pembesar/bangsawan/tokoh masyarakat pada masa itu," katanya. Baca juga Baju Melayu dan Kurung, Pakaian Tradisional Malaysia Bukti keberadaan tanjak bisa dilihat di beberapa sketsa atau lukisan Perang Palembang 1819-1821, peristiwa 4 Syawal/pengasingan SMB II 3 Juli 1821, Perang Jati Lahat tahun 1840-an, Perang Gunung Merakso Lintang tahun 1845, Perang Mutir Alam Besemah tahun 1860, dan beberapa sketsa yang lain. Ia mengatakan, pada tahun 1823, Belanda menghapus tanjak dari Kesultanan Palembang penggunaan tanjak masih tetap eksis hingga hari ini sebagai simbol budaya. Tanjak juga dikenakan terutama saat acara penting dan acara adat. Baca juga Pulau Penyengat, Maskawin Engku Putri Raja Hamidah dan Kampung Halaman Bapak Bahasa Indonesia Dari filosofinya, tanjak berasal dari bahasa Melayu Palembang, yaitu tanjak atau nanjak yang berarti naik/menjulang ke tempat yang Tinggi. Itulah sebabnya bentuk tanjak itu menjulang tinggi atau meninggi ujungnya diwakili dengan segitiga. "Sebagai kesimpulan, kata tanjak bukan singkatan dari kata tanah yang dipijak, tetapi menunjukkan sesuatu yang ditinggikan bukan direndahkan, dan di dalam tubuh manusia kepala adalah tempat tertinggi dan dimuliakan," katanya. Baca juga Menengok Khutub Khanah, Perpustakaan Mini Ibnu Sina di Pulau Penyengat Palembang - Layaknya blangkon bagi masyarakat Jawa, tanjak merupakan penutup kepala bagi masyarakat Palembang. Penutup kepala adat Melayu ini memiliki bentuk yang runcing ke atas dan umumnya dikenakan oleh laki-laki. Tanjak Melayu yang juga disebut mahkota kain, ikat-ikat, atau tengkolok adalah salah satu perlengkapan pakaian di Palembang yang dipakai oleh bangsawan dan tokoh masyarakat di masa lalu. Tanjak sudah ada sejak masa Kesultanan Palembang berkuasa dan dipakai oleh para priyai, pembesar, bangsawan, serta tokoh masyarakat. Bukti keberadaan tanjak bisa dilihat di beberapa sketsa atau lukisan, di antaranya Perang Palembang 1819-1821, peristiwa 4 Syawal atau pengasingan SMB II 3 Juli 1821, Perang Jati Lahat tahun 1840-an, Perang Gunung Merakso Lintang tahun 1845, Perang Mutir Alam Besemah tahun 1860, dan beberapa sketsa lain. Pada 1823, Belanda menghapus tanjak dari Kesultanan Palembang Darussalam, tetapi penggunaan tanjak masih tetap eksis hingga sekarang sebagai simbol budaya. Selain itu, tanjak juga dikenakan saat acara penting dan acara adat. Kata 'tanjak' berasal dari bahasa Melayu Palembang 'tanjak' atau 'nanjak', yang berarti naik atau menjulang ke tempat yang tinggi. Gudang BBM Meledak di Palembang, Pintu Masuk Bongkar Jaringan Mafia Minyak di Sumsel? Alasan Menhub Budi Karya Pilih Palembang Jadi Lokasi Peringatan Harhubnas 2022 Fenomena Kabut Tebal Selimuti Palembang di Pagi Hari, Begini Penjelasan BMKG Dari nama itulah tanjak dibuat menjulang tinggi dengan ujung yang meninggi berbentuk segitiga. Dengan kata lain, kata 'tanjak' bukan merupakan singkatan dari tanah yang dipijak, tetapi menunjukkan sesuatu yang ditinggikan bukan direndahkan. Tanjak memiliki beberapa syarat, salah satunya terbuat dari kain. Kain yang digunakan adalah kaing songket, angkinan, pardo, dan batik. Beberapa sumber menyebutkan bahwa tanjak yang terbuat dari kain songket dahulunya hanya dipakai oleh para Priyai, pangeran, atau bangsawan yang mempunyai jabatan tertentu. Sedangkan tanjak batik, biasanya dipakai oleh para bangsawan dan masyarakat umum untuk berbagai kegiatan. Selain perihal kain, syarat lain tanjak adalah lipatannya. Tanjak dibentuk dari kain segi empat yang kemudian dilipat menjadi kain segi tiga. Sementara itu, bagian terpenting dari tanjak adalah simpul. Simpul yang berada pada tanjak melambangkan persatuan dan ikatan. Namun, ada juga yang mengartikan simpul pada tanjak sebagai ikatan pernikahan dan kekeluargaan. Simpul tersebut terbagi menjadi dua bagian, yakni simpul kiri dan kanan. Dari ikatan pernikahan inilah terjalinnya simpul persaudaraan kekeluargaan. Simpul pernikahan juga menandakan asal-usul, sementara simpul ketupat palas menandakan pengguna berasal dari Riau, Johor, Lingga, dan Pahang. Sementara itu, simpul ketupat makassar menandakan bahwa penggunanya berasal dari Makassar. Tak hanya itu, ada berbagai jenis simpul lain yang menjadi penanda asal daerah dari pemakainya, seperti simpul garam sebuku yang mewakili daerah Perak. Adapun, tanjak memiliki karangan atau solekan di bagian atas tanjak. Sedikitnya ada 21 jenis tanjak Melayu, antara lain lang melayang, lang menyongsong angin, dendam tak sudah, balung ayam, cogan daun kopi, dan masih banyak lagi. Salah satu jenis tanjak yang terkenal adalah tanjak ikatan laksamana. Sementara itu, tapak kain tanjak dibentuk dari tiga lapis pelit. Selapis dari lipatannya dapat dilihat menangkup simpul tanjak di atas telinga kiri. Pucuk tanjak dilipat supaya bertindih dengan bagian ujung atasnya yang dilentik naik ke atas, kemudian kain yang dilipat itu disimpulkan. Tanjak biasanya dipakai oleh seorang ahli kerabat diraja atau kerabat terdekat raja. Jika rakyat biasa yang memakainya, pucuk tanjak ujung kuasa dan simpulnya biasanya diletakkan di atas telinga kiri. Penulis Resla Aknaita ChakSaksikan video pilihan berikut iniPalembang punya makanan legendaris selain pempeknya, yakni dadar jiwo. Mirip seperti dadar gulung, namun memiliki isian yang lebih mewah. Cemilan ini jadi incaran saat bulan Ramadhan tiba.* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

tanjak yang boleh dipakai oleh siapapun adalah